Apa yang terlintas di benakmu ketika mendengar kata "cantik" atau "tampan"? Rasanya, setiap orang memiliki bayangan yang relatif berbeda-beda, tidak ada yang sama persis. Definisi "cantik" atau "tamapn' tergantung pada persepsi dan akumulasi pengalaman yang kian berganti dari waktu ke waktu.
Era industri 4.0 turut menggeser standar ketampanan. Teknologi yang berevolusi membuat dunia kecantikan/ketampanan dan estetika ikut terseret arus transformasi yang dikenal dengan istilah beauty 4.0.
Sebagaimana industri 4.0 ditandai oleh kemunculan superkomputer dan robot pintar yang memudahkan namun juga memiliki efek samping. Begitu pula dengan beauty 4.0, namun efek samping yang ditimbulkannya jauh lebih banyak.
Konsep ini merupakan paradigma atau cara melihat standar kecantikan dari sudut pandang sosial di era digital seperti sekarang ini, terutama netizen.
Beauty 4.0 merupakan gabungan dari generasi sebelumnya. Generasi 1.0 yang menggunakan sudut pandang dokter yang berpegangan dengan sistem golden ratio. Generasi 2.0 yang melibatkan keinginan dari seseorang terhadap kecantikan. Dan, 3.0 yang membuat kecantikan mesti meningkatkan rasa percaya diri hingga bermanfaat pada kehidupan sosial.
Pada beauty 4.0 standar kecantikan bertambah dengan adanya pengaruh dari perkembangan teknologi digital, terutama media sosial. Pada era ini, standar kecantikan seolah ikut ditentukan oleh perkembangan dan pendapat yang ada di media sosial, seperti komentar dari netizen di Twitter, Facebook, dan Instagram.
Bukan hanya perempuan, perkembangan digital membuat laki-laki juga ikut memamerkan ketampanan mereka di media sosial, demi mendapatkan likes dan komentar dengan respon positif.
Perkaranya adalah media sosial. Standar yang dibuat netizen berpotensi membuat orang tak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Seperti yang diketahui, komentar netizen tidak semuanya positif. Bahkan media sosial kita saat ini masih dipenuhi oleh hujatan body shaming.
Kondisi itu semakin rumit ketika setiap orang mulai memiliki kecenderungan untuk membandingkan diri dengan yang ada di media sosial dan menjadikannya sebagai standar untuk dirinya. Alhasil, tak heran jika orang-orang menjadi "diperbudak" oleh standar-standar konyol tersebut.
Bukannya menambah kepercayaan diri, konsep Beauty 4.0 ini justru memengaruhi kondisi psikososial seseorang. Komentar netizen yang sarat body shaming, kerap tidak bisa disikapi secara bijak oleh banyak orang. Akibatnya, seseorang akan merasa tertekan dan frustasi.
Dalam hal ini, gangguan dismorfik tubuh tak sekadar rasa tidak aman atau kurangnya kepercayaan diri. Lebih dari itu, gangguan pada standar kecantikan ini juga berujung pada upaya keras untuk menyembunyikan ketidaksempurnaan yang sesungguhnya tak kita kenali.
Bisa jadi, konsep ini juga didorong oleh kurangnya pemahaman dan penghayatan tentang diri sendiri. Solusi yang bisa dilakukan adalah:
1. Love yourself. Yakini, apa yang dimiliki saat ini merupakan pemberian dari Allah dan tidak ada kurangnya sedikitpun.
2. Menahan diri untuk tidak mengomentari fisik orang lain, bagaimanapun sulitnya.
3. Usahakan bila ingin memuji seseorang, lakukan di tempat yang relatif sepi. Khawatir ada yang merasa iri bila di tempat ramai.
4. Selalu bersyukur atas apa yang diberikan oleh Allah. Syukur sendiri berasal dari kata "syakara", dalam bahasa Arab yang artinya berterimakasih. Salah satu bentuk terimakasih kita kepada Allah adalah dengan merawat tubuh dengan sebaik-baiknya.
Semoga bermanfaat!
Era industri 4.0 turut menggeser standar ketampanan. Teknologi yang berevolusi membuat dunia kecantikan/ketampanan dan estetika ikut terseret arus transformasi yang dikenal dengan istilah beauty 4.0.
Sebagaimana industri 4.0 ditandai oleh kemunculan superkomputer dan robot pintar yang memudahkan namun juga memiliki efek samping. Begitu pula dengan beauty 4.0, namun efek samping yang ditimbulkannya jauh lebih banyak.
Konsep ini merupakan paradigma atau cara melihat standar kecantikan dari sudut pandang sosial di era digital seperti sekarang ini, terutama netizen.
Beauty 4.0 merupakan gabungan dari generasi sebelumnya. Generasi 1.0 yang menggunakan sudut pandang dokter yang berpegangan dengan sistem golden ratio. Generasi 2.0 yang melibatkan keinginan dari seseorang terhadap kecantikan. Dan, 3.0 yang membuat kecantikan mesti meningkatkan rasa percaya diri hingga bermanfaat pada kehidupan sosial.
Pada beauty 4.0 standar kecantikan bertambah dengan adanya pengaruh dari perkembangan teknologi digital, terutama media sosial. Pada era ini, standar kecantikan seolah ikut ditentukan oleh perkembangan dan pendapat yang ada di media sosial, seperti komentar dari netizen di Twitter, Facebook, dan Instagram.
Bukan hanya perempuan, perkembangan digital membuat laki-laki juga ikut memamerkan ketampanan mereka di media sosial, demi mendapatkan likes dan komentar dengan respon positif.
Perkaranya adalah media sosial. Standar yang dibuat netizen berpotensi membuat orang tak pernah puas dengan apa yang dimiliki. Seperti yang diketahui, komentar netizen tidak semuanya positif. Bahkan media sosial kita saat ini masih dipenuhi oleh hujatan body shaming.
Kondisi itu semakin rumit ketika setiap orang mulai memiliki kecenderungan untuk membandingkan diri dengan yang ada di media sosial dan menjadikannya sebagai standar untuk dirinya. Alhasil, tak heran jika orang-orang menjadi "diperbudak" oleh standar-standar konyol tersebut.
Bukannya menambah kepercayaan diri, konsep Beauty 4.0 ini justru memengaruhi kondisi psikososial seseorang. Komentar netizen yang sarat body shaming, kerap tidak bisa disikapi secara bijak oleh banyak orang. Akibatnya, seseorang akan merasa tertekan dan frustasi.
Dalam hal ini, gangguan dismorfik tubuh tak sekadar rasa tidak aman atau kurangnya kepercayaan diri. Lebih dari itu, gangguan pada standar kecantikan ini juga berujung pada upaya keras untuk menyembunyikan ketidaksempurnaan yang sesungguhnya tak kita kenali.
Bisa jadi, konsep ini juga didorong oleh kurangnya pemahaman dan penghayatan tentang diri sendiri. Solusi yang bisa dilakukan adalah:
1. Love yourself. Yakini, apa yang dimiliki saat ini merupakan pemberian dari Allah dan tidak ada kurangnya sedikitpun.
2. Menahan diri untuk tidak mengomentari fisik orang lain, bagaimanapun sulitnya.
3. Usahakan bila ingin memuji seseorang, lakukan di tempat yang relatif sepi. Khawatir ada yang merasa iri bila di tempat ramai.
4. Selalu bersyukur atas apa yang diberikan oleh Allah. Syukur sendiri berasal dari kata "syakara", dalam bahasa Arab yang artinya berterimakasih. Salah satu bentuk terimakasih kita kepada Allah adalah dengan merawat tubuh dengan sebaik-baiknya.
Semoga bermanfaat!
Suka banget dengan poin no 4.. Yang bikin kita kurang dan merasa miskin karena kurangnya rasa syukur..
BalasHapusKece kak 👍👍
Iyaa kak. Terima kasih atas pujiannya kak :)
Hapuswkwk standar konyol. Terimakasih atas solusinya bermanfaat🔥
BalasHapusSama-sama kak :D
HapusHahahah standar cantik juga ditentukan oleh komentar netizen. Kalau ini aku baru tau kak😂 sepertinya topik mengenai cantik/tampan ini dipikirin banget terutama oleh remaja/dewasa awal.. Kalo udah makin berumur sepertinya orang makin gak terlalu mikirin🤣🤣 salam kenal ya kak..
BalasHapusNah iya, sepakat kak. Biasanya orang-orang yang baru beranjak dewasa sedang mencari jati dirinya. Terkadang membutuhkan acceptance dari orang lain. Hal inilah yang mungkin membuat mereka membutuhkan validasi dari orang lain tentang dirinya sendiri.
HapusSeiring berjalannya waktu, akumulasi informasi, pengalaman dan persepsi membuat mereka menjadi lebih resilience terhadap opini-opini dari orang lain. CMIIW ya kak :)